Assalamu'alaikum wr. wb.
Pembaca magelang aqiqah yang budiman,
Sebagai orang yang mengaku tunduk kepada Allah (muslim) dan meyakini akan kebenaran ajaran Islam (mukmin), maka segala ucapan dan perbuatan kita serta hal-hal yang berkaitan dengan kegaiban semestinya senantiasa mengikuti Syariat Allah swt dan syariat Rasul saw. Bukan karena hendak mengungkung kebebasan bertindak, berpikir serta berkreasi, akan tetapi sebuah pengakuan akan keterbatasan dan kemampuan kita kepada hal-hal yang bersifat syar’i. Selain itu, keinginan yang kuat memperoleh rahmat dan syafaat nabi saw, sehingga kita berusaha semaksimal mungkin mengikuti syariat. Hal ini mengharuskan kita mencari mana yang sebenarnya syar’i (ada aturan syariatnya) dan mana yang bukan syar’i alias tradisi dan budaya yang telah menyatu dengan pelaksanaan syariat Islam.
Pembaca magelang aqiqah yang budiman, jika demikian, maksudnya pencampuran tradisi, budaya dan kebiasaan setempat itu, mencampuri dan menggeser substansi syariah, apalagi sampai menyentuh keimanan-keimnanan pokok dalam syariat, maka hal ini sebaiknya dievaluasi kembali.
Pembaca magelang aqiqah yang budiman,
Sebagai orang yang mengaku tunduk kepada Allah (muslim) dan meyakini akan kebenaran ajaran Islam (mukmin), maka segala ucapan dan perbuatan kita serta hal-hal yang berkaitan dengan kegaiban semestinya senantiasa mengikuti Syariat Allah swt dan syariat Rasul saw. Bukan karena hendak mengungkung kebebasan bertindak, berpikir serta berkreasi, akan tetapi sebuah pengakuan akan keterbatasan dan kemampuan kita kepada hal-hal yang bersifat syar’i. Selain itu, keinginan yang kuat memperoleh rahmat dan syafaat nabi saw, sehingga kita berusaha semaksimal mungkin mengikuti syariat. Hal ini mengharuskan kita mencari mana yang sebenarnya syar’i (ada aturan syariatnya) dan mana yang bukan syar’i alias tradisi dan budaya yang telah menyatu dengan pelaksanaan syariat Islam.
Pembaca magelang aqiqah yang budiman, jika demikian, maksudnya pencampuran tradisi, budaya dan kebiasaan setempat itu, mencampuri dan menggeser substansi syariah, apalagi sampai menyentuh keimanan-keimnanan pokok dalam syariat, maka hal ini sebaiknya dievaluasi kembali.
Banyak orang menyangka tradisi yang berjalan selama ini adalah
syariah Islam, padahal bukan. Sebaliknya, boleh jadi ada Syariah Islam secara
substantif, tetapi dianggap tradisi dan kebiasaan masyarakat.
Nah…… percampuran syariah dan tradisi ini dalam masyarakat,
alangkah bagusnya jika sewaktu-waktu kita mencoba menelaah bukan berdasarkan
kebiasaan dan tradisi, tetapi kita mencoba mengkajinya berdasarkan tuntunan
Allah dalam al-Qur’an dan tuntunan Rasulullah saw dalam hadis-hadisnya
Pembaca magelang aqiqah yang budiman.
Pembaca magelang aqiqah yang budiman.
Secara lugawi (segi bahasa), aqiqah artinya memotong atau
memutus, juga bermakna rambut di kepala bayi yang baru lahir. Aqiqah mengandung
arti memutus itu dikaitkan kepada pemutusan kerongkongan kambing
(menyembelihnya) saat pelaksanaan aqiqah. Aqiqah mengandung arti rambut bayi
yang dibawa dari rahim ibu, inilah arti
asal sebagaimana pendapat Az-Zamakhsyari.(catatan kakinya menyusul).
Adapun aqiqah menurut istilah syariah adalah sembelihan
kambing atau domba yang dilaksanakan pada hari ke 7.
Secara kongkrit pelaksanaan aqiqah dilukiskan hadis nabi saw
di bawah ini:
“Setiap anak itu tergadai dengan hewan aqiqahnya, disembelih
darinya pada hari ke tujuh, dan dia dicukur, dan diberi nama.” (HR: Imam Ahmad
dan Ashhabus Sunan, dan dishahihkan oleh At Tirmidzi)
Inilah hadis yang secara khusus menyebutkan tata cara
pelaksanaan syariah aqiqah sehingga penulis kitab Subulussalam secara khusus
menukil dan mengomentarinya. (lihat kitab Subulus salam oleh Imam As-Shan’aniy)
Pembaca magelang aqiqah yang budiman.
Pembaca magelang aqiqah yang budiman.
Uraiannya adalah sebagai berikut:
1. Pada hari ke 7 menyembelih
kambing dengan niat aqiqah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Sembelihan
kambing atau domba ini bisa dimasak kemudian mengundang sanak family atau teman
dan tetangga, bisa pula disedekahkan dagingnya
yang masih mentah.
2.
Mencukur rambut bayi yang baru lahir
3. Memberi nama yang islami, tentunya.
Selain yang disebutkan secara berurut di atas, merupakan
tambahan dan pelengkap. Intinya hanya tiga jenis kegiatan di atas. Tambahan
kegiatan boleh dikerjakan juga boleh tidak, kecuali jika tambahan itu melanggar
ketentuan nabi saw, tentu meninggalkannya lebih utama.
Dalil-dalil Pelaksanaan
Dari Samurah bin Jundab dia berkata : Rasulullah bersabda :
“Semua anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya
disembelih hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya.” [HR Abu Dawud,
Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad]
Dari Aisyah dia berkata : Rasulullah bersabda : “Bayi
laki-laki diaqiqahi dengan dua kambing yang sama dan bayi perempuan satu
kambing.” [HR Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah]
Anak-anak itu tergadai (tertahan) dengan aqiqahnya,
disembelih hewan untuknya pada hari ketujuh, dicukur kepalanya dan diberi
nama.” [HR Ahmad]
Dari Salman bin ‘Amir Ad-Dhabiy, dia berkata : Rasululloh
bersabda : “Aqiqah dilaksanakan karena kelahiran bayi, maka sembelihlah hewan
dan hilangkanlah semua gangguan darinya.” [Riwayat Bukhari]
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya,
Rasulullah bersabda :
“Barangsiapa diantara kalian yang ingin menyembelih
(kambing) karena kelahiran bayi maka hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua
kambing yang sama dan untuk perempuan satu kambing.” [HR Abu Dawud, Nasa’i,
Ahmad]
Hukum Aqiqah Anak adalah sunnah (muakkad) sesuai pendapat
Imam Malik, penduduk Madinah, Imam Syafi′i dan sahabat-sahabatnya, Imam Ahmad,
Ishaq, Abu Tsaur dan kebanyakan ulama ahli fiqih (fuqaha).
Dasar yang dipakai oleh kalangan Syafii dan Hambali dengan
mengatakannya sebagai sesuatu yang sunnah muakkadah adalah hadist Nabi SAW.
Yang berbunyi, “Anak tergadai dengan aqiqahnya. Disembelihkan untuknya pada
hari ketujuh (dari kelahirannya)”. (HR al-Tirmidzi, Hasan Shahih)
“Bersama anak laki-laki ada aqiqah, maka tumpahkan (penebus)
darinya darah sembelihan dan bersihkan darinya kotoran (Maksudnya cukur
rambutnya).” (HR: Ahmad, Al Bukhari dan Ashhabus Sunan)
Perkataan: “maka tumpahkan (penebus) darinya darah
sembelihan” adalah perintah, namun bukan bersifat wajib, karena ada sabdanya
yang memalingkan dari kewajiban yaitu: “Barangsiapa di antara kalian ada yang
ingin menyembelihkan bagi anak-nya, maka silakan lakukan.” (HR: Ahmad, Abu
Dawud dan An Nasai dengan sanad yang hasan).
Perkataan: “ingin menyembelihkan,..” merupakan dalil yang
memalingkan perintah yang pada dasarnya wajib menjadi sunnah.
Imam Malik berkata: Aqiqah itu seperti layaknya nusuk
(sembeliah denda larangan haji) dan udhhiyah (kurban), tidak boleh dalam aqiqah
ini hewan yang picak, kurus, patah tulang, dan sakit. Imam Asy-Syafi’iy
berkata: Dan harus dihindari dalam hewan aqiqah ini cacat-cacat yang tidak
diperbolehkan dalam qurban.
Buraidah berkata: Dahulu kami di masa jahiliyah apabila
salah seorang diantara kami mempunyai anak, ia menyembelih kambing dan melumuri
kepalanya dengan darah kambing itu. Maka setelah Allah mendatangkan Islam, kami
menyembelih kambing, mencukur (menggundul) kepala si bayi dan melumurinya
dengan minyak wangi. [HR. Abu Dawud juz 3, hal. 107]
Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Dahulu orang-orang pada masa
jahiliyah apabila mereka ber’aqiqah untuk seorang bayi, mereka melumuri kapas
dengan darah ‘aqiqah, lalu ketika mencukur rambut si bayi mereka melumurkan
pada kepalanya”. Maka Nabi SAW bersabda, “Gantilah darah itu dengan minyak
wangi”.[HR. Ibnu Hibban dengan tartib Ibnu Balban juz 12, hal. 124]
Pelaksanaan aqiqah menurut kesepakatan para ulama adalah
hari ketujuh dari kelahiran. Hal ini berdasarkan hadits Samirah di mana Nabi
SAW bersabda, “Seorang anak terikat dengan aqiqahnya. Ia disembelihkan aqiqah
pada hari ketujuh dan diberi nama”. (HR. al-Tirmidzi).
Namun demikian, apabila terlewat dan tidak bisa dilaksanakan
pada hari ketujuh, ia bisa dilaksanakan pada hari ke-14. Dan jika tidak juga,
maka pada hari ke-21 atau kapan saja ia mampu. Imam Malik berkata : Pada
dzohirnya bahwa keterikatannya pada hari ke 7 (tujuh) atas dasar anjuran, maka
sekiranya menyembelih pada hari ke 4 (empat) ke 8 (delapan), ke 10 (sepuluh)
atau setelahnya Aqiqah itu telah cukup. Karena prinsip ajaran Islam adalah
memudahkan bukan menyulitkan sebagaimana firman Allah SWT: “Allah menghendaki
kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS.Al Baqarah:185)
Pelaksanaan aqiqah disunnahkan pada hari yang ketujuh dari
kelahiran, ini berdasarkan sabda Nabi SAW, yang artinya: “Setiap anak itu
tergadai dengan hewan aqiqahnya, disembelih darinya pada hari ke tujuh, dan dia
dicukur, dan diberi nama.” (HR: Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan, dan dishahihkan
oleh At Tirmidzi)
Dan bila tidak bisa melaksanakannya pada hari ketujuh, maka
bisa dilaksanakan pada hari ke empat belas, dan bila tidak bisa, maka pada hari
ke dua puluh satu, ini berdasarkan hadits Abdullah Ibnu Buraidah dari ayahnya
dari Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam, beliau berkata yang artinya: “Hewan
aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh, ke empat belas, dan ke dua puluh
satu.” (Hadits hasan riwayat Al Baihaqiy)
Pembaca magelang aqiqah yang budiman.
Pembaca magelang aqiqah yang budiman.
Namun bila setelah tiga minggu masih tidak mampu maka kapan saja
pelaksanaannya di kala sudah mampu, karena pelaksanaan pada hari-hari ke tujuh,
ke empat belas dan ke dua puluh satu adalah sifatnya sunnah dan paling utama
bukan wajib. Dan boleh juga melaksanakannya sebelum hari ke tujuh.
Go Syariah...Go Barokah...
Salam Sukses
Magelang Aqiqah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar